NTTTERKINI.ID, ROTE NDAO — Harapan besar masyarakat Rote Ndao terhadap kemajuan pariwisata lokal lewat kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dan PT Boa Development kini berubah menjadi kekecewaan.
Proyek yang semula digadang-gadang sebagai langkah strategis pengembangan sektor wisata justru memunculkan polemik serius—lantaran tercium aroma ketimpangan dalam isi perjanjian yang dinilai jauh lebih menguntungkan investor ketimbang rakyat.
Kerja sama tersebut mencakup lahan seluas 55.125 meter persegi di kawasan strategis Pantai Bo’a, Kecamatan Rote Barat, yang merupakan aset negara berstatus Hak Pakai.
Tanah tersebut diserahkan pengelolaannya kepada PT Boa Development untuk jangka waktu 30 tahun berdasarkan Adendum Perjanjian Kerja Sama Nomor HK 16 Tahun 2014.
Kontribusi Daerah “Dikebiri”
Salah satu poin krusial yang menuai kritik publik adalah perubahan skema kontribusi keuntungan. Dalam perjanjian awal, Pemkab Rote Ndao seharusnya memperoleh 20% dari keuntungan bersih tahunan. Namun, dalam adendum terbaru, skema ini justru diubah menjadi kontribusi bertingkat:
- 2% untuk 10 tahun pertama,
- 3% untuk 10 tahun kedua,
- dan 5% untuk 10 tahun terakhir.
Mengacu pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun 2023, perhitungan kontribusi hanya berkisar antara Rp 99 juta hingga Rp 249 juta per tahun. Hingga akhir 2023, total kontribusi dari PT Boa Development tercatat hanya Rp 797.769.000—jumlah yang sangat kecil dibandingkan potensi komersial lahan seluas 5,5 hektare di kawasan pariwisata unggulan.
Tokoh pemuda Desa Bo’a, Ardi Mbatu, menyebut kerja sama ini tidak masuk akal.
“Kalau aset sebesar itu hanya menghasilkan kurang dari Rp 100 juta per tahun, ini patut dipertanyakan. Harus ada transparansi. Potensi ekonomi dari tanah wisata seperti ini semestinya jauh lebih besar,” ujarnya kepada media ini.
Data Tanah Tak Sinkron, Kewajiban Tak Dipenuhi
Keganjilan lain muncul dari perbedaan data luas tanah. Dalam naskah awal, disebutkan bahwa Pemkab akan menyerahkan 61.783 m², tetapi adendum menyebutkan hanya 55.125 m². Selisih luas tanah ini menimbulkan pertanyaan soal akurasi dan keabsahan dokumen kerja sama.
Selain itu, PT Boa Development disebut tidak memenuhi kewajibannya untuk menyelenggarakan lomba selancar tahunan yang telah disepakati dalam kontrak sebagai bagian dari promosi wisata dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kegagalan ini dinilai sebagai bentuk wanprestasi yang merugikan masyarakat dan pemerintah daerah.
Akses Warga Diblokir, Kayu Mangrove Diduga Ditebang Ilegal
Lebih jauh lagi, PT Boa Development dituding menutup akses masuk ke Pantai Bo’a yang selama ini menjadi wilayah penting bagi aktivitas nelayan dan petani rumput laut lokal. Tindakan ini mendapat kecaman karena mencederai hak masyarakat atas ruang hidup dan sumber ekonomi mereka.
Masalah semakin kompleks ketika muncul dugaan pelanggaran hukum. Berdasarkan informasi dari Kepala UPTD KPH Rote Ndao, Nic Ndoloe, S.Hut, perusahaan diketahui menggunakan sekitar 2.200 batang kayu mangrove untuk pagar pembangunan Hotel Nihi Rote. Kayu tersebut diambil secara ilegal dari kawasan hutan lindung Loudanon, Desa Oebela, Kecamatan Loaholu.
“Itu pelanggaran hukum. Kayu mangrove dari kawasan lindung tidak boleh ditebang untuk kepentingan komersial,” tegas Nic Ndoloe.
Hingga kini, kasus tersebut masih dalam penyelidikan Polres Rote Ndao. Meski barang bukti berupa pagar kayu mangrove masih berdiri di lokasi proyek, belum ada penetapan tersangka.
Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Dikorbankan?
Kasus kerja sama ini menguak sejumlah pertanyaan penting: Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari proyek ini? Apakah investasi dijalankan demi kemajuan daerah atau sekadar mengakomodasi kepentingan segelintir pihak?
Dengan makin kuatnya sorotan publik, masyarakat Rote Ndao kini menuntut transparansi, evaluasi total terhadap perjanjian, serta penegakan hukum yang tegas terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi. (JM)